KETIKA DERITA MENGABADIKAN
CINTA
Suara pengerusi majlis walimatul urs’ itu bergema di
seluruh ruangan majlis pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang
terletak di tepi Sungai Nil, Cairo. Seluruh hadirin menanti dengan penuh
penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar saraf kelulusan London itu.
Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan
pernikahan dengan kesihatan saraf dari professor yang murah dengan senyuman dan
sering muncul di televisyen itu. Sejurus kemudian, seorang lelaki separuh baya
berambut putih melangkah menuju pentas. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya
memancarkan kewibawaan. Kepalanya yang sedikit botak meyakinkan bahawa ia
memang ilmuwan berjaya. Sorot matanya tajam dan kuat, mengisyaratkan peribadi
yang tegas. Sebaik sampai di pentas, kamera video dan lampu sorot terus
menyunting ke arahnya. Sesaat sebelum berbicara, seperti biasa, ia sentuh
bingkai kacamatanya,lalu…
Bismillah. Alhamdulillah. Wash
shalatu was salamu’ala Rasulillah. Amma ba’du.
Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak boleh memberikan
nasihat lazimnya para ulama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada
kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita.
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan khayalan belaka dan
bukan cerita biasa. Tetapi sebuah
pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan
segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan seluruh hadirin
yang dimuliakan Allah boleh mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya.
Ambillah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini dapat melunakkan
hati-hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dan kedamaian, serta
menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya. Hadirin yang
terhormat,
Tiga puluh lima tahun yang lalu. Saya adalah seorang
pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang
perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri
ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga
bangsawan terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, pakar ekonomi lulusan
Sorbonne yang memegang jawatan penting dan sangat dihormati kalangan elit
politik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami
hidup dalam suasana kebangsawanan dengan aturan hidup tersendiri. Perjalanan
hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma kebangsawanan.
Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan
kalangan bangsawan atau kalangan high class sepadan! Entah mengapa, saya
merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkongkong dan
terbelenggu oleh golongan sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak
merasakan hidup sebenar yang saya cari.
Saya lebih merasa hidup justeru saat bergaul dengan
teman-teman dan kalangan bawahan yang menghadapi kehidupan dengan penuh
tentangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat keluarga saya gusar, mereka
menganggap saya ceroboh dan tidak boleh menjaga status sosial keluarga.
Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari
pengalas perut dianggap memalukan keluarga.
Namun saya tidak ambil peduli.
Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari
datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup
mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar
negeri, ke Paris, Rom, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di
dalam negeri, ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel
San Stefano atau hotel mewah di dalam Montaza yang berdekatan dengan istana
Raja Faruq.
Sebaik masuk fakulti kedoktoran, saya dibelikan kereta
mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan kereta
biasa sahaja, agar lebih senang bergaul dengan teman-teman dan para pensyarah.
Tapi beliau menolak mentah-mentah. “Justeru dengan kereta mewah itu kamu akan
dihormati siapa sahaja”.Tegas ayah. Terpaksa saya pakai kereta itu meskipun
dalam hati saya membantah pendapat materialistik ayah. Dan agar lebih selesa di
hati, saya meletakkan kereta itu jauh dari tempat kuliah.
Di kuliah saya jatuh cinta pada teman sekuliah. Seorang
gadis yang penuh pesona zahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan,
kesahajaan, dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap
dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan
dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,
sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga menyintai saya.
Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk
menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diredhai Allah, iaitu ikatan
pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakulti. Maka
datanglah saatnya untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami
ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk
melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung
ke rumah. Ayah, ibu dan saudara mara saya semuanya takjub dengan kecantikan,
kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna
pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Selepas kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan
ayahnya. Sebaik saja saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah
dan terus membanting gelas yang ada berdekatannya. Bahkan beliau mengancam:
“Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!” Beliau menegaskan bahawa selama
beliau masih hidup rancangan pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak
boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk
redam kepedihan batin yang tak terkira.
Hadirin semua, adakah Anda tahu apa sebabnya? Kenapa ayah
saya berlaku sedemikian kejam? Sebabnya, kerana ayah calon isteri saya itu
adalah tukang cukur…..tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan
dengan bangga. Kerana meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.
Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajipannya pada keluarganya. Dia
telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan “Pasha”.
Melalui tangannya ia lahirkan tiga orang doktor, seorang jurutera dan seorang
leftenan, meskipun dia sama sekali tidak pernah mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan seluruh keluarga berpihak pada ayah. Saya
sendiri berdiri, tiada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya
membawa pasangannya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah,
ibu terus merestui dan menyiapkan biaya majlis pernikahannya sebanyak lima
ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil
seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui
sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina , bertukar ganti pasangan
dan akhirnya menghamilkan pasangannya yang entah keberapa di luar aqad nikah,
malah direstui dan diberi biaya maha besar? Dengan senang ayah menjawab:
“Kerana kamu memilih pasangan hidup dari golongan yang salah dan akan
menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman wanita adik kamu yang hamil itu
anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Gonzouri”.
Hadirin semua, semakin perit luka dalam hati saya. Kalau
dia bukan ayah saya tentu sudah tentu saya maki habis-habisan. Mungkin itulah
tanda kiamat mahu datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi,
namun yang jelas berzina justeru terus dibiayai. Dan dengan menyebut asma
Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan
pada siapa saja, bahawa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar.
Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan
tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini
melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya
jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak
merestui rancangan saya.
Namun la haula wala quwwata illa billah, saya
dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliau
pun menolak mentah-mentah untuk mengahwinkan puterinya dengan saya. Bahkan juga
bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi kehormatan keluarganya.
Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan kalangan “Pasha”.
Namun puterinya berkeras ingin menikah dengan saya dan tidak akan menikah
kecuali dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras,
beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad bernikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami terseksa. Keluarga saya
menolak pernikahan ini terjadi kerana alasan status sosial, sedangkan keluarga
dia menolak kerana alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup
berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang–orang itu tidak memiliki
kesejukan cinta?
Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk
mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke
pejabat ma’adzun syari (petugas pencatat nikah) disertai tiga orang
sahabat karibku. Kami berikan identiti kami dan kami minta ma’adzun untuk
melaksanakan akad nikah kami secara syar’i mengikut madzhab Imam Hanafi.
Ketika ma’adzun menutun saya: “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya
terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan mahar yang
kita sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu Hanifah Radiyallahu
‘anhu”. Seketika itu bercucuranlah air mata saya, airmata dia dan airmata
ketiga sahabat saya yang tahu secara detail perjalanan menuju aqad nikah itu.
Kami keluar dari pejabat itu dengan rasmi sebagai suami-isteri yang sah di mata
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia. Kami punya bukti sah sebagai suami isteri
yang diakui negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap mengahadapi kemungkinan
hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan siapa pun
kecuali pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya bisikkan dalam telinga
isteri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini
belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir,
aqad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan
mata. Sebaik saja mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah.
Kereta dan segala kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa
membawa apa-apa. Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit
sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki
selesai membayar duit aqad nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan
isteriku, ia turut diusir oleh keluarganya. Lebih tragis ia hanya membawa beg
kecil berisi pakaian dan wang sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami
hanya pegang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan
enam pound. Kami berdua bertemu di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah
bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil. Rasa cemas,
takut, sedih, dan sengsara bercampur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata
kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dakapan
kasih sayang, rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang
kesengsaraan seperti ini Maafkan kanda!. “Tidak Kanda tidak salah, langkah yang
Kanda tempuh benar. Kita telah berfikir benar dan bercinta dengan benar.
Merekalah yang tidak boleh menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara
berfikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahawa kita benar dan
tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini,
percayalah, insya Allah, saya akan sentiasa mendampingi Kanda, selama Kanda
setia membawa dinda di jalan yang lurus. Kita akan buktikan pada mereka bahawa
kita boleh hidup dan berjaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat
kita gapai kejayaan itu, kita hulurkan tangan kita dan kita berikan senyuman
kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata mereka akan mengalir
deras seperti derasnya airmata derita kita saat ini.” Jawab isteri saya dengan
terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan pengaruh yang luar biasa dalam
diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna
seketika. Apalagi teringat bahawa satu bulan lagi kami akan dilantik menjadi doktor.
Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan
dan wang sebanyak 40 pound.
Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami
duduk di kaki lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa.
Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin
kami tidur di kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa
wang pound itu kami boleh meminjam telefon di sebuah kedai dua puluh empat jam.
Saya Berjaya menghubungi seorang teman yang boleh memberi pinjaman sebanyak 50
pound. Ia bahkan menghantarkan kami dengan keretanya mencarikan lokandat (rumah
penginapan) ala kadarnya yang murah.
Saat kami berteduh dalam bilik sederhana, segeralah kami
disedarkan kembali bahawa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami
harus mengharunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih
sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kami hidup dalam lokandat itu beberapa hari, sampai teman kami berjaya
menemukan rumah sewa sederhana di daerah kumuh Syubra Kaimah.
Bagi kaum bangsawan, rumah sewa kami mungkin dipandang
sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah
kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah sewa kami. Namun bagi kami,
ini adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,jika seorang gelandang
tanpa rumah menemukan tempat berteduh, ia bagaikan mendapat hadiah agung dari
langit.
Kebetulan yang tuan punya rumah sedang memerlukan wang,
sehingga dia menerima aqad sewa tanpa wang jaminan dan wang perkhidmatan
lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa
bahagianya kami saat itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli
perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tidak lebih dari sebuah tilam kasar dari
kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kerusi dan satu dapur gas
sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari tanah, itu saja tak lebih.
Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak
itu, kami tetap merasa bahagia, kerana kami selalu bersama. Adakah di dunia ini
kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup
bahagia adalah hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia
merindukan syurga di akhirat. Kerana di syurga Allah menjanjikan cinta. Ah,
saya jadi teringat perkataan Ibnul Qayyim, bahawa ni’matnya persetubuhan cinta
yang dirasa sepasang suami isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran
setitis rasa ni’mat yang disediakan Allah di syurga. Jika percintaan suami
isteri itu ni’mat, maka syurga jauh lebih ni’mat dari itu semua. Ni’mat cinta
di syurga tidak boleh dibayangkan. Yang paling ni’mat adalah cinta yang
diberikan Allah kepada penghuni syurga, saat Allah memperlihatkan wajahNya. Dan
tidak semua penghuni syurga berhak meni’mati
indahnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk mencapai
ni’mat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya iaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang
konsisten mengikuti petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di
syurga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan
lurus mendekatkan diri kepadaNya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Quran, lalu
memakai tudung, dan tiada putus solat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi
puteri raja yang cantik mengghairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi
Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu
siang dia adalah doktor yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang
wanita yang berkarakter dan berperibadian kuat, ia bertekad untuk menempuh
hidup berdua tanpa bantuan siapa pun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia
juga seorang wanita yang pandai mengurus wang . Wang sebanyak 55 pound yang
tersisa setelah membayar rumah cukup untuk makan dan pengangkutan selama satu
bulan. Tetangga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga
mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup
kami, padahal kami berdua adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa
disengaja: “Ah, kami ingat para
doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata ada juga ya yang
melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya persahabatan kami dengan para tetangga banyak
mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan
kecil layaknya seperti saudara sendiri. Ada yang menawari isteri agar
menumpangkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka. Kerana kami memang doktor
yang sibuk. Ada yang membelikan keperluan dapur. Ada yang membantu membersihkan
rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga
itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami
sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi
kami.
Yang lebih menyakitkan, mereka tidak membiarkan kami hidup
tenang. Suatu malam ketika kami sedang tidur nyenyak,tiba-tiba rumah kami
diketuk dengan kasar dan ditendang oleh empat penjahat kiriman ayah saya.
Mereka merosakkan segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya mereka
patah-patahkan, begitu juga kerusi. Katil tempat kami tidur satu-satunya mereka
robek-robek. Mereka mengancam dan memaki dengan kata-kata kasar. Lalu mereka
keluar dengan ancaman: “Kalian tidak akan hidup tenang, kerana berani menentang
Tuan Pasha!” Yang mereka maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang
saat itu pangkatnya naik menjadi jeneral.
Keempat-empat banjingan itu pergi. Kami berdua berpelukan,
menangis bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur
kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan,
kami masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak-rabak tidak karuan
itu. Kami susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu
berusaha kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat
bergenggaman, seolaholah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan
kebahagiaan yang meringankan tekanan hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan
ayah tak akan membiarkan kami hidup tenang.
Saya mendapat berita dari seorang teman bahawa ayah telah
merancang scenario keji untuk memenjarakan isteri saya berdua dengan tuduhan
wanita pelacur. Semua orang juga tahu kuatnya pegawai perisik ketenteraan di
negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di bawah
telapak kaki mereka. Saya hanya boleh pasrah segalanya kepada Allah mendengar
hal itu. Dan masya Allah! Ayah memang merancang rancangan itu dan tidak mengurangkan
niat jahatnya itu kecuali setelah seoarang teman karibku berjaya memperdaya
beliau dengan bersumpah akan berjaya memujuk saya agar menceraikan isteri saya.
Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau
itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan akan berbuat
lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap minggu sambil
meminta beliau bersabar, sampai berjaya meyakinkan saya untuk menceraikan
isteriku. Inilah rancangan temanku itu untuk terus menghulur waktu, sampai ayah
turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya dapat mempersiapkan
segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saatnya masa wajib
militer (tentera). Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah
masa yang sangat saya takutkan, tidak ada kemasukan sama sekali yang saya
terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa
yang sangat saya cintai. Nyaris selama satu tahun saya tidak dapat tidur kerana
memikirkan keselamatan isteri tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami,
Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hambaNya yang beriman. Isteri saya hidup
selamat bahkan dia mendapat kesempatan bekerja sementara di sebuah klinik
kesihatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan
dengan rahmat Allah.
Selesai wajib militer, saya terus menumpahkan segenap rasa
rindu pada kekasih hati. Saat itu adalah musim bunga. Musim cinta dan
keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih.
Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang
penyair Palestin yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan
lepas dari belenggu derita.
Sambil menatap ke kaki langit
Kukatakan padanya
Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba
Bukan kerana ketiadaan kata-kata
Tetapi kerana kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku, besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan kita akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
***
Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya
istirehat dari nestapa dan derita. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia
malah berkeras untuk masuk program Magister bersama. Gila! Idea gila! Fikirku
saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi
meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi
menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah
terfikir untuk meraih Magister. Saya pujuk dia untuk menghentikan niatnya. Tapi
dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan menjawab dengan logik yang tak
kuasa saya tolak:
“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat
tawaran dari fakulti sehingga akan memperolehi keringanan dalam pembiayaan,
kita harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.
Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum
penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademik kita, dan kita wujudkan mimpi
indah kita.”
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan
keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja
isteriku,hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan
kesabaran dan kekuatan jiwanya. Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan
mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup
untuk hidup, sementara keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk
praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya
dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari
hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut
lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam dalam
memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa
lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntahmuntah.
Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi
perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu
terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak
pernah
menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya
melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih atau pun marah kerana suatu
sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih
merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya
terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup
sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat
keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup
menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala kadarnya. Timbal balik
perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa
kuatnya dalam diri kami. Saya tidak mampu lagi melukiskan rasa sayang, penghormatan
dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak
di depan saya adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya
dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan
mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya
yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya
kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang
sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar
dengan semangat membara. llah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami
berdua meraih gelaran Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun
saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih
mengecap hidup susah, tidur di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan
enak dalam hidup kami.
Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha
keras, kami berjaya menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di
Kuwait. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan
duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah.
Kami rasakan kembali tidur di atas tilam empuk. Kami kenal kembali makanan
lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat
membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk
kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai. Tetapi isteriku memang
“gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk melanjutkan program
doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah saya tolak:
“Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah
kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk mengambil doktor di
London. Setelah bertahun-tahun kita hidup di lorong buruk dan kotor, tak ada
salahnya kita raih sekalian tahap akademik tertinggi sambil merasakan hidup di
negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”
Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari
London. Saya spesialis saraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah
memperoleh gelaran doktor spesialis, kami menandatangani kontrak kerja baru di
Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai doktor
ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami
juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang puteri yang cantik dan
cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku
dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.
Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah
sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang
raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup
bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup
menderita, melarat dan sengsara. Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa
syukur kami pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami.
Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup.
Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri solehah yang saya
cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan
pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab
biru muda yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis
berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri saya tercinta yang mengajrkan bahawa
penderitaan boleh mengekalkan cinta, dialah Prof. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”
Tepuk tangan bergemuruh mengiri gegak kamera video
menyuting sosok perempuan separuh baya yang nampak anggun dengan jilbab biru
tuanya. Perempuan itu sedang mengusap cucuran airmatanya. Kamera itu juga
merakam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua
mempelai dan segenap hadirin yang menghayati cerita itu dengan saksama.
0 Response to "Ketika Derita Mengabadikan Cinta"
Posting Komentar